HUKUM KB DALAM PERSPEKTIF FIQH

bab I
Pendahuluan

Keluarga Berencana (KB) pernah menjadi salah satu issu kontroversial dalam pemikiran Islam modern. Ada sejumlah persoalan yang muncul terkait dengan masalah Islam dan KB, mulai dari masalah hukum ber-KB, makna KB (Apakah berarti pengaturan keturunan / tanzim al-nasl atau pembatasan keturunan /tahdid al-nasl ? ),
persoalan alat kontrasepsi (cara kerja, hukum penggunaan, serta implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan), hingga masalah kebijakan demografi negara dengan berbagai dampaknya.
Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ulama dan lembaga-lembaga KeIslaman mengenai KB dalam berbagai perspektif. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah KB pada beberapa persoalan, sebagaimana akan dijelaskan dalam tulisan ini. Perbedaan terjadi karena tidak adanya nash (Al Qur’an dan Hadist) yang secara eksplisit melarang atau memerintahkan ber-KB.
Untuk mendapat gambaran yang komprehensif tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Islam terhadap KB memang tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang paling otoritatif yaitu Al Qur’an dan Hadist. Namun, karena tidak adanya penjelasan yang yang eksplisit, mkaa harus dilakukan kajian yang lebih mendalam atas kedua sumber tersebut dengan cara mengidentifikasi semua ayat-ayat Al-Qur’an  dan hadist-hadist Nabi yang terkait dengan permasalahan KB untuk kemudian ditarik pesan-pesan esensial serta ajaran (maqashid al-syaria’ah) yang dikandung dari kedua sumber tersebut. Dengan begitu akan terlihat secara utuh pesan ajaran Islam sesungguhnya terhadap KB.
Sebelum menjelaskan lebih jauh bagaimana perspektif hukum Islam mengenai KB, ada baiknya kita kaji terlebih dahulu bagaimana pandangan Islam tentang keluarga. Hal ini penting untuk melihat apa sesungguhnya motivasi disyari’atkannya berkeluarga (nikah) dan bagaimana relasinya dengan KB.



BAB II
HUKUM KB MENURUT ISLAM


A.Pengertian KB
Keluarga Berencana (family planning) adalah gerakan untuk mewujudkan keluarga kecil sejahtera dan bahagia melalui penurunan tingkat kelahiran secara bermakna. Dalam hal ini, pengertian kb dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1-Pembatasan Kelahiran, (tahdid an-nasl) yaitu program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk. Program ini dilandasi oleh teori bahwa semakin banyak penduduk maka persediaan pangan akan semakin berkurang.
2-Pengaturan Kelahiran (tandzim an-Nasl), yaitu program yang dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dalam masa tertentu agar bisa mendidik dan merawat anaknya serta menjaga kesehatan ibu.
Program ini mendapat respon dari ulama indonesia dalam menentukan aspek hukumnya secara lebih terfokus. Para ulama lebih mempersoalkan cara dan alat yang dipergunakan dalam rangka menjalankan program keluarga berencana.

B. Keluarga Berencana dan Kependudukan
Pertambahan penduduk di Indonesia, semakin lama semakin menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan, karena tidak sesuai dengan perekonomian Negara. Pertambahan penduduk lebih cepat, sedangkan perekonomian Negara jauh lebih ketinggalan.
Kalau hal tersebut diatas tidak segera ditanggulanginya, maka akan berpengaruh negatif terhadap pembangunan Nasional; karena pemerintah bisa kewalahan menydiakan sarana perekonomian, fasilitas kesehatan, sarana pendidikan, tempat wisata dan sebagainya.
Dengan menyadari ancaman yang bakal terjadi, maka pemerintah menjadikan Program Keluarga Berencana bagian dari Pembangunan Nasional, yang kegiatannya dimulai sejak Pelita I yang lalu.
Dalam kegiatan selanjutnya, Keluarga Berencana di Indonesia mengalami proses yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang lainnya ; yaitu sangat ditentukan oleh alasan keehatan. Tetapi perkembangan selanjutnya, semakin disadari lagi, bahwa permasalahanya bertambah luas, dimana Kelurga Berencana dianggap sebagai salah satu cara untuk menurunkakn angka kelahiran, sebagai suatu sarana untuk mengendalikan pertambahan penduduk yang semakin pesat.
Sejak tahun 1957, sudah ada perkumpulan swasta yang bergerak di bidang Keluarga Berencana ( KB ), yang bernama “Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia ( PKBI ).” Tetapi ketika itu, pemerintah belum melembagakannya, karena faktor suasana politik yang belum memungkinkannya.
Ketika tahun 1967, baru terlihat ada persiapan-persiapan menuju kepada pelaksanaan program tersebut. Dan seja itu pula, pemerintah muali mendorong masyarakat Indonesia, untuk menciptakan iklim, yang dapat menguntungkan pelaksanaan progra KB secara Nasional. Maka pada tahun 1968, yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah, yang bernama “Lembaga Keluarga Berencana Nasional ( LKBN )”, yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan Keluarga Berencana. Kemudian pada tahun 1969, program tersebut mulai dimasukkan ke dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
Dan kira-kira satu tahun sesudahnya, maka pemerintah menganggap perlu membentuk suatu Badan Pemerintah, yang diberi nama dengan “Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasiional ( BKKBN )”; yanng bertugas untuk mengkoordinir semua kegiatan KB di Indonesia. Maka sejak itu pula, masalah kependudukan di Indonesia sudah bisa terkendalikan dengan baik. Serta seluruh lembaga pemerintah dan swasta, mengambil bagian untuk menukseskan pembangunan Nasional di bidang kependudukan.
Apabila laju pertumbuhan penduduk sudah dapat dikendalikan dengan program KB, maka pemerintah sudah bisa mengupayakan peningkatan kualitas penduduk, dengan cara menyediakan fasilitas perekonomian, kesehatan, pedidika, dan sebagianya ; sehinga pada masa yanng akan datang, penduduk Indonesia semakin tinggi kualitas hidupnya dan semakin maju tingkat kecerdasannya.
C. Keluarga dalam Perspektif Islam
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah keluarga. Ada puluhan ayat Al Qur’an dan ratusan hadist Nabi yang memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan, mulai dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban masing-masing unsur dalam keluarga hingga masalah kewarisan dan perwalian. Islam memang memberikan perhatian besar pada penataan keluarga. Ini terbukti dari seperempat bagian dari fiqih  (hukum Islam) yang dikenal dengan rub’u al-munakahat, berbicara tentang keluarga.  Kehadiran anak dalam keluarga merupakan qurrah a,yun (buah hati yang menyejukan) seperti dalam QS. Al-Furqaan (25 : 74 )
Artinya : “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” QS. Al-Furqaan ( 25 : 74 )

dan zinah hayat al-dunya (perhiasan kehidupan dunia) dalam (QS. 18 : 46).
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” QS. al-Kahfi ( 18 : 46 )

Namun tentu saja seorang anak akan menjadi buah hati dan oerhiasan dunia jika ia tumbuh menjadi manusia yang baik dan berkualitas. Al- Qur’an juaga mengingatkan bahwa anak juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah), dalam arti terkadang dapat menjerumuskan orang tua melakukan perbuatan yang dilarang agama akibat saking cintanya kepada anak (QS. 64 :14-15).
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. at-Taghaabun:14-15)
Anak juga merupakan sebuah amanah  dan menjaga amanah adalah kewajiban orang yang beriman ( QS. 3 : 58 ).
Artinya : “Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Quran yang penuh hikmah.” QS. Ali-Imran ( 3 : 58 )
Untuk itu , orang tua berkewajiban memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan anak, baik materiil maupun spiritual, dalam bentuk kasih saying, perhatian, pemenuhan sandang, pangan, tempat tinggal, pendiidkan dan kesehatan  sampai anak itu mencapai usia dewasa.

D. Hukum Keluarga Berencana
Para ulama dalam menentukan suatu hukum terhadap boleh atau tidaknya melakukan KB, para ulama memandang dari tiga sudut ata aspek. Aspek tersebut ialah:
KB dalam arti yang pertama, ulama sepakat melarangnya, karena pembagian rizki adalah hak Allah. Larangan ini berkenaan dengan dua hal, pertama berkaitan dengan munculnya keraguan tentang kekuasaan Allah, padahal Allah lah yang memberikan rizki tersebut. Firman Allah,
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya.” (QS. Hud: 6)
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"
Alasan kedua, karena bertentangan dengan tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah saw “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat (dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)”. [Hadits Shahih, riwayat Abu Daud dan an-Nasa'i]
Termasuk ke dalam larangan ini adalah larangan membatasi kelahiran dengan jumlah tertentu. Setelah jumlah itu kemudian merasa cukup dengan jumlah anak tertentu dan kemudian menghentikan kehamilan dengan cara apapun.
Tetapi dalam keadaan darurat, menghentikan kehamilan itu dibolehkan. Syaikh Utsaimin mengatakan, tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.
1-Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
2-Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah pemakaiannya membahayakan atau tidak.
Sementara syaikh bin Baz mengemukakan tentang dibolehkannya menghentikan kehamilan 1) Adanya penyakit yang membahayakan jika hamil 2) Dia melahirkan dengan cara yang tidak normal bahkan harus melakukan operasi jika melahirkan dan bahaya-bahaya lain yang serupa dengan hal tersebut.
Tetapi KB dalam pengertian yang kedua (mengatur kelahiran), para ulama’ membolehkan karena ada mashlahat yang dikandungnya. Dalil kebolehannya antara lain hadits dari sahabat Jabir RA yang berkata, “Dahulu kami melakukan azl [senggama terputus] pada masa Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (HR Bukhari).
Meskipun KB untuk mengatur jarak kelahiran diperbolehkan, kita juga harus memperhatikan dua hal, pertama niat yang baik yaitu niat untuk memelihara kesehatan ibu, dan juga untuk menyempurnakan kewajiban terhadap anak sehingga menjadi anak yang shalih dan kuat. Selain itu pelaksanaan KB diperbolehkan dalam ajaran Islam karena pertimbangan ekonomi,kesehatan, dan pendidikan.Artinya, dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai ehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya agar menjadi akseptor KB.Bahkan menjadi dosa baginya,jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa depannya,yang pada akhirnya menjadi beban berat bagi masyarakat. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Qur’an yang artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” ( QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 9 )
Kedua, memperhatikan alat yang dipakai. Maksudnya, KB yang saat ini dilakukan memiliki berbagai macam variasi peralatan. Ada di antaranya yang hukum asalnya boleh tetapi tidak boleh digunakan karena menimbulkan efek samping yang berbahaya, atau dalam mengunakannya mengharuskan melakukan tindakan yang bertentangan dengan syari’at seperti pemakaian spiral yang dipasangkan oleh dokter ahli kandungan lelaki.
Kemudian ada alat KB yang hukum asalnya adalah haram, seperti tubektomi dan vasektomi. Ada juga beberapa obat yang berfungsi untuk mematikan embrio, setelah bertemunya sel sperma dan sel ovum, menurut kami obat ini juga haram. Sebab, meskipun dalam hal ini ada perbedaan pendapat, ketika sel sperma dan sel ovum sudah menyatu maka segala bentuk upaya untuk mengugurkannya kami pandang termasuk ke dalam aborsi.
Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat sementara dan dapat dipasang sendiri oleh orang yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang auratnya karena dalam hal ini diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat Selain itu bahan pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan bagi kesehatan.
Alat/metode kontrasepsi yang tersedia saat ini telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa KB secara substansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan merupakan salah satu bentuk implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, mawardah, sakinah dan penuh rahmah. Selain itu, kebolehan (mubah) hukum ber-KB, dengan ketentuan-ketentuan seperti dijelaskan diatas, sudah menjadi kesepakatan para ulama dalam forum-forum ke Islaman, baik pada tingkat nasional maupun Internasional (ijma’al-majami). 
Selanjutnya, alat kontrasepsi yang dibolehkan adalah:
Untuk wanita, seperti: IUD, pil, obat suntik, cara-cara tradisional dan metoda yang sederhana; misalnya minum jamu.
Untuk pria, seperti: kondom dan Coitus Interruptus (Azal menurut Islam)
Untuk lebih selamatnya, dalam melakukan KB sebaiknya menggunaka salah satu dari tiga cara,
1. Sistem tanggal, yaitu menghindari hubungan pada waktu tanggal rawan. Tetapi kadang-kadang kita lupa kapan mulai dan berakhirnya tanggal subur yang rawan itu, sehingga resiko cara ini cukup besar.
2. ’Azl (coitus interuptus), yaitu menumpahkan sperma di luar vagina.
3. Dengan kondom. Kondom memiliki fungsi yang mirip dengan ’azl, yaitu mencegah masuknya sperma ke dalam rahim agar tidak terjadi pertemuan dengan sel ovum.
Dan pelaksanaan KB, harus ada komunikasi yang baik antara suami dengan isteri. Syaikh Bin Baz dan Utsaimin, menasihatkan isteri yang mau menggunakan obat untuk mengatur kelahiran harus seizin suami. Demikian pula suami yang hendak menggunakan metode ’azl juga harus memberitahukan kepada isterinya, agar tidak menimbulkan kekecewaan.

BAB III
KESIMPULAN

KB merupakan salah satu hal yang dipermasalahkan dalam ruang lingkup fiqh. Hal ini disebabkan terdapat beberapa point dalam KB yang bertentangan dengan nash. Tetapi, di samping itu KB juga merupakan bagian penting hidup ini karena populasi penduduk yang tidak terkontrol akan menimbulkan mudharat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa sejatinya penetapan hukum KB janganlah dilihat dari satu sisi saja, tetapi llihatlah dari sisi-sisi lainnya. Dalam hal ini, janganlah dilihat dari aspek yang dilarang dalam nash saja, tetapi lihatlah juga dari aspek yang bermanfaatnya.
Pengendalian populasi manusia jauh lebih penting dari pada memegang teguh kayakinan bahwa menggunakan KB berarti telah menolak rezeki Allah dan mengingkari pemberian-Nya.
Jadi, KB diperbolehkan akan tetapi penggunaan alat kontrasepsinya harus sesuai dengan yang dibenarkan dalam Islam.Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat sementara dan dapat dipasang sendiri oleh orang yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang auratnya karena dalam hal ini diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat Selain itu bahan pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan bagi kesehatan.
mw tw lebih jauh.....

KORELASI FIQH MUAMALAH DENGAN PERBANKAN SYARIAH

I.PENDAHULUAN

Kehadiran Ekonomi Islam di tengah-tengah kuatnya dominasi kapitalis dalam arus perekonomian dunia seakan membangkitkan kembali semangat umat Islam untuk memperbaiki sistem perekonomian yang penuh dengan ketidakadilan ini. Hal ini telah terbukti secara empiris dengan lahirnya berbagai lembaga keuangan berbasis syariah. Dimulai sejak didirikannya bank syariah yang pertama pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia, yakni Islamic Development Bank ( IDB ) yang merupakan
kerjasama antara negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam ( OKI ) dan kini sudah mulai merambah ke wilayah-wilayah yang pada dasarnya merupakan wilayah-wilayah non Islam. Realita seperti ini juga mengindikasikan bahwa sebenarnya terdapat banyak sekali kesalahan ataupun kekurangan dari sistem ekonomi yang selama ini dianut. Untuk itu, kehadiran kembali sistem ekonomi Islam setelah sekian lama mengalami stagnasi akibat kuatnya dominasi sistem ekonomi kapitalis seakan terasa ibarat obat yang mampu menyembuhkan penyakit kronis yang sulit sekali untuk disembuhkan.

Akan tetapi, penerapan sistem ekonomi syariah di berbagai lembaga-lembaga keuangan yang berbasis syariah ternyata belum mampu berjalan sempurna. Dalam praktiknya, masih terdapat sistem riba atau bunga di dalam pelaksanaan lembaga-lembaga keuangan syariah termasuk perbankan syariah, meskipun hal tersebut terjadi secara terselubung. Kenyataan seperti ini dikhawatirkan dapat berpotensi merusak kredibilitas sistem ekonomi Islam. Padahal, apabila sistem ekonomi Islam mampu untuk direalisasikan dalam kehidupan, maka kemungkinan besar kemaslahatan dari aspek ekonomi sebagai aspek dominan dalam roda kehidupan manusia akan mampu dicapai serta hal ini pun dapat memperkuat eksistensi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Untuk menerapkan sistem ekonomi Islam dalam kehidupan tentu tidaklah mudah. Perlu adanya pemahaman secara eksplisit guna menjalankannya. Dasar untuk memahami sistem ekonomi Islam dapat dilakukan melalui pemahaman secara teoritis meskipun persoalan ekonomi merupakan persoalan yang bersifat aplikatif. Salah satu fasilitas untuk memahami sistem ekonomi Islam secara teoritis yaitu melalui fiqh muamalah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fiqh muamalah merupakan langkah penting sebagai bekal menerapkan sistem ekonomi Islam, termasuk di dalamnya adalah perbankan syariah.

I.PENGERTIAN MUAMALAH
Pengertian muamalah dapat dilihat dari beberapa segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata : معاملة -يعامل - عامل sama dengan wazan : مفاعلة – يفاعل – فاعل yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. 1 Sementara itu, menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit.
Menurut beberapa ahli, definisi muamalah dalam arti luas adalah sebagai berikut :
1.Al-Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah :
ا لتحصيل ا لدنيوي ليكو ن سببا للا خر
“Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi”.2

2.Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.3 Dalam buku yang sama dikatakan pula bahwa muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan mengenai muamalah dalam arti luas, dapatlah diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.4
Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit, didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :

1.Menurut Hudhari Byk. pengertian muamalah adalah :
ا لمعاملات جميع العقودالتي بها يتبا دل منا فعهم
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”

2.Menurut Idris Ahmad, muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.

3.Menurut Rasyid Ridho, muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.

Dari beberapa pandangan di atas mengenai pengertian muamalah dalam arti sempit, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.5
Dari dua sudut pandang yang berbeda dalam memahami pengertian muamalah, baik secara luas maupun secara sempit, terdapat persamaannya yaitu sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dengan pemutaran harta.

III.RUANG LINGKUP FIQH MUAMALAH
Untuk memudahkan memahami ruang lingkup fiqh muamalah secara spesifik, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai dua jenis muamalah :
A.Al-Muamalah al-Madiyah
Yaitu muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah muamalah bersifat kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memadharatkan, benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.

B.Al-Muamalah al-Adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, seperti jujur, hasud, dengki, dendam, dan lain sebagainya.

Dari dua jenis muamalah yang telah disebutkan di atas, maka ruang lingkup fiqh muamalah juga terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat Adabiyah dan ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat Madiyah.
1.Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat Adabiyah mencakup beberapa hal berikut ini :
a.Ijab dan kabul
b.Saling meridhai
c.Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
d.Hak dan kewajiban
e.Kejujuran pedagang
f.Penipuan
g.Pemalsuan
h.Penimbunan
i.Dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
2.Sedangkan beberapa hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah yang bersifat Madiyah adalah sebagai berikut :
a.Jual-beli ( al-Bai’ al-Tijarah )
b.Gadai ( al-Rahn )
c.Jaminan dan tanggungan ( Kafalan dan Dhaman )
d.Pemindahan hutang ( Hiwalah )
e.Jatuh bangkrut ( Taflis )
f.Batasan bertindak ( al-Hajru )
g.Perseroan atau perkongsian ( al-Syirkah )
h.Dan lainnya beserta masalah-masalah Mu’ashirah ( Mahaditsah ), seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.

Dari penjelasan di atas mengenai fiqh muamalah, baik dari segi pengertian secara luas maupun secara sempit serta ruang lingkup fiqh muamalah, dapatlah diketahui bahwa itu semua merupakan tata cara yang Allah tetapkan kepada manusia untuk melakukan aktifitas duniawinya dengan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Salah satu manifestasi aktifitas manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya adalah adanya mekanisme perbankan yang dapat memberi kemudahan bagi manusia untuk melaksanakan aktifitasnya. Namun, adanya riba serta kentalnya aroma kapitalis dalam praktik perbankan di Indonesia justru membuat sulit umat manusia untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek perekonomian yang seharusnya mampu untuk diatasi melalui perbankan. Selain itu, mekanisme perbankan yang seperti ini bersifat kontras dengan tujuan utama adanya perbankan untuk menciptakan kegiatan ekonomi yang adil dan transparan.
Maka dari itu, sudah saatnya sekarang praktik perbankan di Indonesia dilandasi oleh nilai-nilai Islam yang dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang adil dan transparan.6 Dalam perbankan yang berbasis Syariah atau yang lebih dikenal dengan sebutan perbankan syariah, terdapat banyak hal ( mekanisme ) yang pada hakekatnya dipelajari dalam fiqh muamalah. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
1.Perbankan syariah tidak mengenal sistem riba, karena riba dilarang oleh agama serta riba hanya akan menimbulkan kemudharatan saja. Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang mengharamkan riba, di antaranya yaitu :

QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 275

Artinya : “.… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. …..” ( QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 275 )

QS. Ali-Imran [ 3 ] : 130
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”( QS. Ali-Imran [ 3 ] : 130 )

QS. An-Nisa’ : 161
Artinya : “Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”( QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 161 )

Sementara itu, dalam kajian teoritis fiqh muamalah, riba atau bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal merupakan penyebab utama krisis ekonomi,7 sehingga riba merupakan hal yang tidak boleh untuk dilakukan.

2.Kemudian, dalam perbankan syariah terdapat sistem mudharabah atau qiradh atau yang dikenal dengan istilah sistem bagi hasil. Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a., bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda :

ثلا ث فيهن البركة البيع الي اجل والمقا رضة وخلط البربا لشعير للبيت ولا للبيع
Artinya : “Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Menurut Imam Taqiyudin, mudharabah ialah :

عقد علي نقد ليتصر ف فيه ا لعامل با لتجا رة
“Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”8
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.9
Dengan mudharabah ini bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.10

3.Dalam perbankan syariah juga terdapat sistem pinjaman ( ‘Ariyah ). Sesuai dengan pengertian bank Islam itu sendiri, bahwa bank Islam merupakan suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada individu atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.11 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa perbankan syariah berupaya untuk menghindari adanya bunga bank dalam membantu masyarakat melalui program pinjaman dana. Dasar hukum mengenai sistem pinjaman seperti ini terdapat dalam QS. Al-Maidah [ 5 ] : 2 yang artinya adalah
“……..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ……” ( QS. Al-Maidah [ 5 ] : 2 )
serta dalam QS. An-Nisa’ : 58 yang artinya adalah
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…….” ( QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 58 )
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Menurut hadits tersebut, hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Sabda Rasulullah SAW tersebut adalah sebagai berikut :

فا ن من خير كم ا حسنكم قضا ء ( ر و ا ه ا لبخا ر ي و مسلم )
“Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Sebaliknya, jika penambahan tersebut telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak lagi halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah SAW bersabda :

كل قرض جرمنفعة فهو و جه من وجوه ا لر با ( ا خر جه ا لبيهقي )
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” ( Dikeluarkan oleh Baihaqi )

4.Sama seperti halnya yang terdapat dalam perbankan konvensional, dalam perbankan syariah pun terdapat sistem kredit. Maksud kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun dalam pinjam-meminjam. Namun, mekanisme kredit yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan mekanisme kredit yang terdapat dalam perbankan konvensional yang cenderung terarah pada sistem riba atau bunga. Menurut Anwar Iqbal Qureshi hal ini dikarenakan fakta-fakta obyektif menegaskan bahwa Islam melarang setiap pembungaan uang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan sebab sistem perekonomian tidak akan lancar tanpa adanya kredit dan pinjaman.

Kesimpulan
Fiqh muamalah memiliki korelasi yang erat sekali dengan mekanisme perbankan Islam atau yang biasa disebut dengan perbankan syariah. Selain itu, fiqh muamalah pun dapat dijadikan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi polemik yang berpotensi menghambat perkembangan ekonomi berbasis Islam dalam penerapan perbankan syariah.
Perbankan syariah merupakan lapangan untuk mengaplikasikan konsep-konsep penting ekonomi Islam yang dibahas secara teoritis dalam fiqh muamalah, seperti masalah riba, mudharabah, kredit, dan masalah pinjaman
mw tw lebih jauh.....
Manusia dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Hal ini berulang kali dinyatakan oleh-Nya dalam Al-Quran, yang Allah kemukakan di depan para malaikat, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pada diri malaikat itu sendiri akan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi akibat perbuatan manusia, seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 30.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir kemungkinan terjadinya apa yang dirisaukan oleh para malaikat, maka Allah menetapkan aturan main bagi manusia dalam mengemban amanah Allah sebagai Khalifah-Nya di dunia ini. Aturan-aturan Allah tersebut, secara sederhana disebut syariah atau hukum Syara’, yang saat ini disebut dengan hukum Islam.
Hukum Islam melingkupi semua segi kehidupan manusia di dunia ini, baik untuk mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia, maupun mewujudkan kebahagiaan hidup di akhirat. Segi kehidupan umat manusia yang diatur oleh Allah itu, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Pertama adalah hablun min Allah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah ( hukum Ibadah ) yang bertujuan untuk menjaga hubungan antara Allah dengan hamba-Nya. Kedua adalah hablun min al-nas, yaitu hubungan antar manusia dan alam sekitarnya ( hukum muamalat ) yang nbertujuan untuk menjaga hubungan antar manusia dengan alam sekitarnya.
Salah satu aspek yang termuat dalam hukum muamalat ialah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Dalam hal ini, Allah menjelaskan secara rinci mengenai pembagian harta warisan, baik dari kadar harta yang akan diwariskan ( furudhul muqaddarah ) maupun orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris sesuai dengan furudhul muqaddarah yang telah Allah tentukan ( dzawil furudh ). Selain itu, terdapat pula persoalan mengenai ahli waris yang tidak disebutkan secara jelas kadar harta waris yang bisa diperolehnya, yang kemudian, para ahli waris tersebut dinamakan dengan dzawil ashabah dan dzawil arham.
Dari sedikit penjelasan tentang furudhul muqaddarah, dzawil furudh, dzawil ashabah, dan dzawil arham seperti yang telah dikemukakan di atas, pembahasan dalam makalah ini akan diawali dengan bahasan tentang furudhul muqaddarah, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang dzawil furudh dan dzawil ashabah, yang kemudian diakhiri dengan pembahasan mengenai dzawil arham.


PEMBAGIAN HARTA WARIS DALAM ISLAM

A.Furudhul Muqaddarah

Furudhul muqaddarah adalah kadar warisan bagi setiap ahli waris. Dalam pengertian lain, furudhul muqaddarah adalah bagian yang telah ditetapkan yang membicarakan angka-yang tidak memerlukan interpretasi lebih lanjut, didasarkan pada ayat yang bersifat qath’i sehingga akal tidak perlu digunakan untuk melakukan interpretasi lebih lanjut. Penjelasan secara jelas dan terperinci mengenai furudhul muqaddarah terdapat dalam QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 11 dan 12 yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12 Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”



Berdasarkan ayat-ayat tersebut, kadar kewarisan (furudhul muqaddarah ) dalam Islam telah Allah tetapkan dengan angka-angka yang pasti, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 serta ayat-ayat tersebut pun menyebutkan pula orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut ( Dzawil Furudh ).

B.Dzawil Furudh
Seperti yang telah dipaparkan secara jelas dan terperinci dalam QS. An-Nisa’ : 11 dan 12, bahwa Allah SWT telah menentukan kadar kewarisan serta orang-orang yang memperoleh harta warisan menurut kadar tersebut. Mereka yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut dinamakan sebagai Dzawil Furudh.
Dalam Kitab Fiqh Sunnah Jilid 14, yang dimaksud Dzawil Furudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari keenam bagian yang telah ditentukan bagi mereka, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6.
Berikut ini penjelasan tentang dzawil furudh seperti yang telah dipaparkan dalam QS. An-Nisa’ : 11 dan 12 :

1.Furudh 1/2
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Suami, jika pewaris tidak meninggalkan anak atau keturunan, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun dari suami yang lain. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ : 12.
Anak perempuan, bila ia hanya seorang diri saja serta tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ : 11.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama dengan saudara laki-laki yang mendapat ashabah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki, serta tidak ada anak perempuan kandung dan anak laki-laki.
Saudara perempuan seibu-seayah, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki seibu-seayah, serta si pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, juga tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupu perempuan.
Saudara perempuan seayah, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah, tidak bersama-sama dengan saudara perempuan kandung, serta si pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, juga tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan.
2.Furudh 1/4
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Suami, bila pewaris ( istri ) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, baik dari dirinya sendiri maupun dari suaminya yang lain.
Istri, bila pewaris ( suami ) tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dari istrinya yang manapun.
3.Furudh 1/8
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Istri atau beberapa istri, bila pewaris ( suami ) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, dari istrinya yang manapun.
4.Furudh 1/6
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Ayah, bila pewaris ( istri ) meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Kakek ( ayah dari ayah ), bila pewaris tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki.
Ibu, bila pewaris meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki serta bila pewaris mempunyai dua saudara atau lebih secara umum.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun lebih, bila pewaris meninggalkan seorang anak perempuan.
Saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, bila seorang diri.
Nenek, dari pihak ayah maupun pihak ibu, bila pewaris tidak meninggalkan ibu.

5.Furudh 1/3
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Ibu, bila ia mewarisi bersama ayah dan si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki serta saudara.
Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, bila si pewaris adalah kalalah serta jumlah saudara dua orang atau lebih.

6.Furudh 2/3
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak bersama dengan saudara laki-lakinya, yaitu anak laki-laki si pewaris.
Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila tidak ada anak si pewaris, tidak ada dua anak perempuan, dan tidak bersama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung, bila tidak ada anak, ayah, atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki sekandung, serta tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, baik satu orang maupun lebih.
Dua saudara perempuan atau lebih yang seayah, bila tidak ada anak laki-laki, ayah, atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki seayah, serta tidak ada anak-anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.

C.Dzawil Ashabah

1.Pengertian Ashabah
Pengertian ashabah secara bahasa adalah kerabat laki-laki dari ayah atau anak turun dan kerabat seorang lelaki dari fihak ayah . Mereka dinamakan ashabah karena kuatnya ikatan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Sedangkan pengertian ashabah dari segi istilah adalah setiap ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu yang dijelaskan dalam Al-Quran atau hadits . Dalam pengertian lain, ashabah adalah mereka yang mendapatkan sisa sesudah ashhabul furudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka atau mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorang pun di antara ashhabul furudh .
2.Dasar Hukum Kewarisan Ashabah
Kewarisan ahli waris ashabah diatur dalam Al-Quran dan hadits. Berdasarkan Al-Quran, ketentuan kewarisan ashabah diatur dalam QS. An-Nisa’ : 11, dimana dijelaskan bagian untuk ayah dan ibu apabila ada anak-anak, masing-masing dari mereka ( ayah-ibu ) mendapat bagian 1/6. Namun, apabila si pewaris tidak meninggallkan anak-anak, maka harrtanya akan diwarisi oleh ayah dan ibunya. Al-Quran telah menjelaskan bahwa bagian ibu adalah 1/3, namun tidak menyebutkan bagian ayah. Dengan demikian, sekalipun tidak disebutkan dalam Al-Quran, bagian ayah adalah sisanya, yaitu 2/3. Sementara itu, berdasarkan hadits Nabi SAW disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagaimana berbunyi sebagai berikut :
“Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah yaitu laki-laki yang terdekat kepada si mayit.” ( HR. Bukhari ).
Menurut Ibnu ‘Abbas, apabila mayit meninggalkan seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka bagian dari anak perempuan itu adalah 1/2, dan sisanya untuk saudara laki-laki, sedangkan seorang saudara perempuannya itu tidak mendapatkan bagian sama sekali.
3.Pembagian Ashabah
Kewarisan ashabah dibagi menjadi dua bagian, yaitu ashabah sababiyah dan ashabah nasabiyah. Ashabah sababiyah adalah ashabah karena sebab, yaitu seorang tuan yang memerdekakan hambanya berhak mendapatkan warisan dari peninggalan hamba yang dimerdekakannya, apabila tidak ada ahli waris dari keturunannya. Seorang tuan mendapatkan warisan dari orang yang dimerdekakannya adalah sebagai balasan atas kebaikannya kepada bekas hambanya. Sementara itu, ashabah nasabiyah adalah ashabah karena faktor keturunan.
4.Macam-Macam Ashabah menurut Garis Keturunan (ashabah nasabiyah )
Ashabah nasabiyah dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu :

a.Ashabah binafsi ( ashabah dengan sendirinya )
Ashabah binafsi adalah laki-laki yang nasabnya dengan si pewaris tidak diselingi oleh perempuan. Bagian ini mempunyai empat golongan, yaitu :
Golongan keturunan anak ke bawah ( bunuwwah ), seperti : anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya.
Golongan keturunan ayah ke atas ( ubuwwah ), seperti : bapak, kakek dari bapak, dan seterusnya ke atas. Golongan ini akan mendapatkan sisa harta yang diwaris jika bunuwwah tidak didapatkan.
Golongan keturunan saudara terus ke samping ( ukhuwwah ), seperti saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara seibu seayah, dan anak laki-laki dari saudara seayah, dan seterusnya. Golongan keturunan saudara terbatas kepada saudara laki-laki seibu seayah dan saudara laki-laki seayah serta keturunan laki-laki dari mereka. Sedangkan saudara laki-laki seibu adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tidak mendapat bagian ashabah karena mereka melalui garis keturunan ibu.
Golongan keturunan paman dari ayah ( ‘umuumah ), seperti paman seibu seayah dari ayah, paman seayah dari ayah, kemudian anak laki-laki dari paman seibu seayah dengan ayah anak laki-laki dari paman seayah dengan ayah.
Keempat golongan di atas berlaku secara berurutan. Jadi, warisan ashabah dari golongan bunuwwah lebih didahulukan daripada warisan ashabah dari golongan ubuwwah, begitu juga seterusnya.
Akan tetapi, jika terdapat sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat dengan si pewaris. Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si pewaris, berasal dari satu golongan dan berada pada satu tingkatan, maka yang paling diprioritaskan adalah pewaris ashabah yang hubungan kerabatnya lebih kuat .

b.Ashabah bighair ( ashabah dikarenakan orang lain )
Ashabah bighair adalah perempuan yang bagiannya 1/2 dalam keadaan sendirian, dan 2/3 bila bersama dengan seorang atau beberapa saudara perempuannya. Apabila bersama perempuan atau perempuan-perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka semuanya menjadi ashabah. Mereka yang menjadi ashabah bighair itu ada empat :
Seorang anak perempuan atau lebih. Ia menjadi ashabah bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Seorang saudara perempuan atau lebih yang sekandung.
Saudara perempuan seayah.

c.Ashabah ma’a ghair
Ashabah ma’a ghair ialah setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah. Ashabah ma’a ghair ini hanya terbatas pada dua golongan dari perempuan, yaitu :
Saudara perempuan sekandung, baik seorang atau lebih, bersama dengan seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Saudara perempua seayah, baik seorang atau lebih, bersama dengan seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.


D.Dzawil Arham

1.Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh maupun dzawil ashabah. Kata arham merupakan bentuk jamak dari rahim, yang menurut bahasa berarti tempat menetap janin di dalam perut ibunya. Kemudian, pengertian yang berlaku adalah suatu hubungan kekerabatan secara umum, baik hubungan kerabat melalui ayah maupun melalui ibu, karena kata rahim mengandung dua arti tersebut.
Secara umum, Dzawil arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris atau merupakan kerabat pewaris yang tidak mendapat bagian tertentu, baik dalam Al-Quran maupun hadits, juga bukan merupakan ahli waris yang mendapat bagian sisa.

2.Dasar Hukum Kewarisan Dzawil Arham
Dasar hukum mengenai hal ini terdapat dalam QS. Al-Anfal [ 8 ] : 75 yang artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

3.Empat Golongan Dzawil Arham
Empat golongan yang dimaksud adalah :
Orang-orang yang memiliki keturunan dengan pewaris, yaitu :
•Keturunan dari anak –anak perempuan pewaris dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki maupun perempuan.
•Keturunan dari cucu perempuan dari anak laki-laki maupun perempuan.
Orang-orang yang memiliki keturunan dengan pewaris, yaitu :
•Kakek yang tidak sah dan seterusnya ke atas, seperti bapaknya ibu, dan kakek dari bapaknya ibu.
•Nenek yang tidak sah dan seterusnya ke atas, seperti nenek dari bapaknya ibu dan ibunya nenek dari bapaknya ibu.
Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah dan ibu pewaris, yaitu :
•Anak-anak dari saudara-saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
•Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu, dan anak-anak perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
•Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan anak-anak mereka sampai terus ke bawah seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, cucu laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-lakli saudara laki-laki seibu.
Orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua kakek atau kedua nenek pewaris, baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya, yaitu :
•Saudara laki-laki dan saudara perempuan ( dari ayah ) pewaris, Saudara laki-laki dan saudara perempuan ( dari ibu ) pewaris, baik yang sekandung, seayah saja, maupun seibu saja.
•Anak-anak bibi ( saudara ayah ), paman ( saudara ibu ), bibi( saudara ibu ), dan anak-anak paman yang seibu, dan seterusnya.
•Saudara Perempuan ( saudara ayah ) dari ayah si pewaris secara umum, begitu juga saudara laki-laki dan saudara perempuan ( saudara ibu ) dari ibu si pewaris, baik sekandung maupun seayah.
•Anak-anak dari bibi-bibi dan paman-paman dari ayah si pewaris dan seterusnya ke bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak perempuan dari bibinya ayah.
•Pamannya kakek dari ibu, pamannya nenek, paman, dan bibi dari ibu serta bibi / saudara ayah dari kakek atau nenek.
•Anak-anak dari orang-orang yang disebutkan pada poin sebelumnya.

KESIMPULAN

Pembagian harta waris sesuai dengan yang telah Allah tentukan, merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh umat Islam agar kemungkinan-kemungkinan terjadinya perselisihan antar sesama ahli waris akibat pambagian harta ini dapat dihindari. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu mawaris dalam kehidupan umat Islam agar mampu dipahami dan diaplikasikan perlu untuk dikembangkan serta pandangan-pandangan negatif mengenai sulitnya mempelajari dan memahami ilmu mawaris perlu untuk dihindarkan.
Memutuskan suatu persoalan dalam waris dengan jalan merujuk kepada Al-Quran dan hadits, selain dapat menghindarkan perselisihan, secara tidak langsung juga telah menerapkan aturan Allah, suatu aturan yang bernilai ibadah, sehingga para pelakunya berpeluang besar untuk mendapatkan pahala dari Allah serta petunjuk-Nya di dalam setiap aktifitas yang mereka lakukan.
Maka dari itu, menerapkan aturan-aturan Allah mengenai kewarisan dapat memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
mw tw lebih jauh.....

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

PENDAHULUAN
Hukum Kewarisan Islam atau yang lazim disebut Faraid dalam literatur Hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan Hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
Sebagai hukum agama yang bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu, Hukum Kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.
Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan 5 asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut di antaranya adalah asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata Akibat Kematian.


BAB II
ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

Seperti yang telah dikemukakan pada BAB Pendahuluan bahwa terdapat 5 asas dalam proses peralihan harta waris dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Kelima asas tersebut adalah asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata karena Kematian yang akan dijelaskan dalam penjelasan di bawah ini.

1. Asas Ijbari
Dalam Hukum Islam, peralihan harta dari orang yang telah menninggal pada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini di sebut secara Ijbari.
Secara leksikal, kata Ijbari mengandung arti “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam terminologi fiqih munakahat mengandung arti si wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anak gadisnya itu dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawininya itu. Begitu pula kata Jabari dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan Allah SWT sebagaimana yang berlaku menurut aliran Jabariyah.
Dijalankannya asas Ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata ( BW ) yang peralihan harta warisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya.
Adanya unsur Ijbari dalam unsur Kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan Hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajiban hanya sekedar menolong membayarkan hutang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban melunasi hutang itu dengan hartanya sendiri. Dalam BW diberikan kemungkinan untuk tidak menerima harta kewarisan, karena menerima akan membawa akibat menanggung resiko untuk melunasi hutang pewaris.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris tetrhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka ataupun tidak suka.
Adanya asas Ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi penerima peralihan harta.
a. Segi Peralihan Harta
Unsur Ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta. Karena dalam peralihan berarti beralih dengan sendirinya. Sedangkan dalam pengalihan berarti nampak usaha seseorang. Asas Ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 7 yang berbunyi sebagai berikut :

Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada “nasib” dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Harta nasib berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. Dari kata nasib itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak telah terdapat hak bagi ahli waris. Dalam hal ini, pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.

b. Segi Jumlah Harta yang Beralih
Bentuk Ijbari dari segi jumlah harta yang beralih berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas telah ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat pada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur Ijbari dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudan yang secara etimologi berarti “telah ditentukan atau telah diperhitungkan.” Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fiqh berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah : sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa, mengikat dan memaksa.

c. Segi Penerima Peralihan Harta
Bentuk Ijbari dari segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur Ijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ : 11, 12, 13, dan 176.

2.Asas Bilateral
Membicarakan asas ini, berarti membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan melalui 2 arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima kewarisan dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam QS. An-Nisa’ : 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari piahk ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan Bilateral itu. Secara terperinci, asas Bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya :

a.Dalam Ayat 11 dijelaskan :
Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat oleh dua orang anak perempuan.
Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima waris dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

b.Dalam Ayat 12 dijelaskan :
Bila pewaris adalah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung ( anak atau ayah ), maka saudara laki-laki dan perempuan berhak menerima bagian dari harta tersebut.
Bila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung ( anak atau ayah ), maka saudara yang laki-laki dan perempuannya berhak menerima harta tersebut.

c.Dalam Ayat 176 dijelaskan :
Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan ( ke atas dan ke bawah ), sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan ( ke atas dan ke bawah ), sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
Dari tiga ayat yang telah dikemukakan di atas, terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih ke bawah ( anak-anak ), ke atas ( ayah dan ibu ), ke samping ( saudara-saudara ) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan yang menerima warisan dari kedua garis keluarga, yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan. Inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral.

3.Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang di dalam ushul fiqh disebut “ahliyat al-wujub”. Dalam pengertian ini, setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan Al-Quran yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7 surat An-Nisa’ secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.
Ayat 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ menjelaskan secara terperinci hak masing-masing ahli waris secara individual menurut bagian tetrtentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tertentu seperti anak laki-laki bersama dengan perempuan dalam surat an-Nisa’ ayat 11 atau saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176, dijelaskan juga perimbangan pembagiannya yaitu bagian laki-laki banyaknya sama dengan dua bagian perempuan. Dari perimbangan yang dinyatakan itu akan jelas pula bagian masing-masing ahli waris.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat di akhirat bagi yang melanggarnya, sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14.
Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untu setiap ahli waris, maka untuk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk menggunakan harta tersebut. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut terdapat ketentuan lain yang dalam kaidah ushul fiqh disebut “ahliyat al-ada’.”

4.Asas Keadilan Berimbang
Kata ‘adil’ merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-adlu. Dalam Al-Quran, kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian di antaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata al-‘adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula. Sehingga, akan memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunannya.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Atas dasar pengertian di atas, terlihat asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam Hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapat hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan kewarisan. Sementara itu, dalam ayat 11, 12, dan 176 surat yang sama dijelaskan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-lalki dan anak perempuan, ayah dan ibu ( ayat 11 ), suami dan istri ( ayat 12 ), saudara laki-laki dan saudara perempuan ( ayat 12 dan 176 ).
Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki maupun perempuan terdapat dua bentuk, yaitu :
a.Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyaknya dengan perempuan; seperti ibu dan ayah yang sama-sama mendapat 1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu yang sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah seorang kalalah sebagaimana yang tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 12.
b.Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat 11, dan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dan seayah dalam ayat 176. Dalam kasus yang terpisah, duda mendapat dua kali bagian yang didapat oleh janda yaitu 1/2:1/4 bila pewaris tidak meninggalkan anak; dan 1/4 : 1/8 bila bila pewaris meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa’ ayat 12.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang didapat saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, sebab keadilan dalam Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris, tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Secara umum, dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih abnyak materi dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki ( dalam Islam ) memikul kewajiban ganda, yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya, termasuk di dalamnya adalah para perempuan. Bila jumlah yang diterima dihubungkan dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh perempuan. Meskipun pada mulanya laki-laki menerima dua kali lipat dari begian perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikannya kepada wanita dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah keadilan dalam konsep Islam.

5.Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut Hukum Islam. Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum Perdata atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament.

Demikianlah Asas Hukum Kewarisan Islam yang menujukkan karakteristik dari kewarisan dalam Hukum Islam. Dari asas-asas tersebut dapat ditarik perbedaan antara Hukum Islam dengan sistem kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik kesamaan.

BAB III
KESIMPULAN

Pelaksanaan waris dalam Islam memiliki beberapa asas tertentu yang menjadikan Hukum Waris Islam berbeda dengan pelaksanaan waris lainnya. Kelima asas tersebut memperlihatkan perbedaan yang signifikan dalam pembagian harta waris di Islam dengan yang lainnya serta membuat pembagian harta waris dalam Islam jauh lebih adil apabila dijalankan menurut kelima asas tersebut bila dibandingkan dengan pembagian harta waris yang tidak menggunakan aturan-aturan Islam sebagai rujukannya.
Dari pemaparan yang telah dijelaskan dalam bagian pembahasan, terdapat 5 asas dalam pelaksanaan Kewarisan Islam yaitu asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata Akibat Kematian. Semua asas tersebut tidaklah terlepas dari nash-nash yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasulullah yang memperjelas ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan waris serta merujuk kepada beberapa hasil ijtihad para ulama’ mengenai pembagian harta waris dalam Islam. Sehingga, pada intinya, pembagian harta waris haruslah dilakukan dengan merujuk kepada sumber-sumber Hukum Islam agar pembagiannya tidak menimbulkan perpecahan.
mw tw lebih jauh.....

Wacana Haram Golput



Tidak lama lagi, pesta demokrasi di negara ini akan segera berlangsung. Tepatnya pada kurun waktu 3 – 4 bulan ke depan, seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009 untuk menentukan masa depan bangsa ini. Tentunya, rakyat Indonesia menginginkan agar pelaksanaan Pemilu 2009 dapat berjalan sukses dan dapat melahirkan sosok pemimpin bangsa yang mampu untuk membenahi bangsa ini dari keterpurukan.Namun sayangnya, ditengah tingginya asa rakyat terhadap perubahan bangsa ini melalui Pemilu 2009, terdapat sebuah polemik yang sangat pelik yang harus dihadapi dalam setiap pelaksanaan Pemilihan Umum, yaitu tingginya angka GOLPUT yang selalu mewarnai pelaksanaan pemilihan umum di negara ini. Bahkan, sebuah lembaga survei memprediksi bahwa angka golput pada pemilu 2009 bisa mencapi 40 %. Hal ini didasarkan pada tingginya angka golput pada pilkada di beberapa daerah.
Dalam Pilgub DKI Jakarta dengan 5,7 juta pemilih misalnya, jumlah golput sebesar 2 juta (34,5 persen). Di Jawa Barat dengan 27,9 juta pemilih, jumlah golput sebesar 9,1 juta (32,6 persen). Di Jawa Tengah, dengan 25,8 juta pemilih, jumlah golput sebesar 11,6 juta (45 persen). Bahkan pada pilkada putaran kedua di Jawa Timur, dengan 29 juta pemilih, jumlah golput mencapai 13,9 juta (48 persen).
Seperti apakah pengaruh GOLPUT dalam Pemilihan Umum ?
Banyak tanggapan mengenai pengaruh GOLPUT dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang dilontarkan oleh sejumlah kalangan praktisi politik di Indonesia bahkan juga MUI. Secara garis besarnya, terdapat 2 pendapat mengenai hal ini, yakni ada yang berpendapat bahwa GOLPUT itu merupakan hak warga negara, sehingga sah-sah saja untuk dilakukan dalam pemilihan umum, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa GOLPUT akan memberikan dampak buruk pada pelaksanaan pemilihan umum sehingga tidak sah jika GOLPUT dilakukan oleh warga negara bahkan terdapat wacana dari MUI untuk mengharamkan GOLPUT.
Makalah ini berupaya untuk menyajikan berbagai pendapat mengenai GOLPUT dan wacana pengharaman GOLPUT oleh MUI beserta berbagai argumentasinya dengan harapan agar pandangan-pandangan menyimpang mengenai GOLPUT dapat dihindarkan.

GOLPUT ( GOLONGAN PUTIH )


A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Istilah Golput

Golput atau Golongan Putih adalah tindakan tidak memilih atau ”No Voting Decision”. Istilah ini mulai dicetuskan oleh Arief Budiman ( yang sekarang menjadi Guru Besar di Universitas Melbourne, Australia ) dan kawan-kawannya menjelang Pemilu pada tahun 1971 sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI ( yang sekarang menjadi TNI ) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arief Budiman menyerukan golput kepada masyarakat untuk tidak mencoblos tepat pada gambar partai politik, melainkan menyerukan untuk mencoblos bagian kertas yang berwarna putih.

B. Faktor-Faktor Penyebab Golput

Mendengar kata “GOLPUT” dalam beberapa pemilihan umum yang telah barlangsung di beberapa daerah di Indonesia memang tidak asing lagi. Hampir tidak ada pelaksanaan pemilihan umum yang tidak diwarnai oleh “GOLPUT”. Bahkan, tindakan golput rakyat Indonesia saat ini bukanlah perkara main-main lagi, prosentasenya hampir sama dengan jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya. Realita seperti ini seolah-olah telah menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan rakyat Indonesia terhadap calon-calon pemimpin bangsa ini rendah sekali. Lalu, apa sebenarnya faktor yang menyebabkan hal seperti ini terjadi.
Istilah golput sudah ada menjelang pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1971, tepatnya pada masa pemerintahan orde baru. Bukan hanya pada era orde baru saja, pada era reformasi saat ini pun, golput masih saja terjadi. Padahal, kalau dilihat kembali dari konteks sejarah, pada era politik orde baru, rakyat Indonesia begitu memimpikan kebebasan untuk memilih pada saat pemilu berlangsung. Pada saat itu, rakyat Indonesia begitu tertekan oleh tuntutan pemerintah yang memaksakan rakyat untuk memilih dan memenangkan Golkar dalam setiap pemilihan umum yang berlangsung, sehingga hasil pemilihan umum tersebut tidaklah sesuai dengan konstitusi.
Akan tetapi, kondisi seperti yang terjadi di era orde baru itu berbeda dengan kondisi yang terjadi sekarang ini di era reformasi. Tuntutan rakyat untuk memperoleh kebebasan memilih sesuai dengan hati nuraninya telah terpenuhi. Namun mengapa keputusan untuk golput tetap saja terjadi ?
Tentunya, fenomena golput di negara ini tidaklah terjadi tanpa adanya suatu sebab yang mengakibatkan adanya fenomena tersebut. Terdapat banyak penyebab terjadinya golput, baik di era orde baru maupun di era reformasi sekarang ini. Alasan yang melatarbelakangi timbulnya golput di era orde baru berbeda dengan alasan yang timbul di era reformasi.
Jika pada era orde baru golput terjadi sebagai bentuk protes rakyat terhadap sikap pemerintah yang terlalu memaksa rakyat untuk memilih dan memenangkan Golkar, dengan kata lain terjadi penindasan terhadap hak warga negara untuk memilih, maka lain halnya dengan yang terjadi di era reformasi ini, beberapa di antaranya adalah :
A. Menurut Masdar, Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ( P3M ) adalah karena pemilu belum mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara serta masyarakat memiliki anggapan memilih, ya, seperti itu, tidak memilih pun, ya, tetap akan seperti itu. Tidak ada perubahan.
B. Karena tidak puas dengan kandidat yang ada.
C. Karena parpol dan politikus masih mengecewakan.

C. Wacana Mengharamkan Golput

Pada dasarnya, wacana untuk mengharamkan golput yang dikeluarkan oleh Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur mendapat perhatian di tingkat pusat. Setidaknya hal itu tercermin dari pernyataan Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI, yang meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Pendapat ini diperkuat oleh Benni Setiawan yang mengutip pernyataan M. Amin Abdullah bahwa dalam pendekatan pengkajian agama (Islam), ada dua hal utama. Pertama, nonfalsifiable dan kedua, falsifiable. Nonfalsifiable merupakan bentuk keimanan atau kepercayaan bahwa agama yang ia anut adalah benar. Dan semua agama dan pemeluknya mengakui dan memiliki hal tersebut.
Sedangkan falsifiable dapat berupa, teks, ritual keagamaan, lembaga, pemimpin, dan sebagainya. Kajian politik, masuk dalam wilayah falsifiable. Wilayah ini boleh didiskusikan dan selalu berubah sesuai konteks zaman. Artinya, wilayah ini bukanlah hal yang tabu untuk diperdebatkan. Lebih dari itu, pemahaman mengenai wilayah falsifiable, dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang.
Menurutnya, peran serta MUI saat ini bukanlah hanya dalam labelisasi halal dan haram untuk makanan dan minuman saja. MUI sudah saatnya keluar dari kungkungan yang dapat mengerdilkan peran sertanya dalam proses berbangsa dan negara (nation-state).
Untuk melaksanakan pemilihan umum, negara dipastikan mengeluarkan anggaran dana yang tidak terbilang kecil. Bisa dibayangkan jika pelaksanaan pemilihan umum yang memakan anggaran dana dengan jumlah besar sia-sia begitu saja dengan tingginya angka golput. Untuk itu, fatwa haram golput sudah saatnya diagendakan oleh MUI. Selain akan mendorong masyarakat untuk lebih rasional dalam memilih, adanya fatwa haram golput juga dapat menyelamatkan keuangan negara yang jumlahnya sangat besar yang dialokasikan untuk pelaksanaan pemilihan umum 2009 mendatang.
Tidak hanya Benni Setiawan yang mendukung wacana pengharaman golput. Muhammad Zulifan dalam artikelnya yang berjudul Golput Dalam Pandangan Islam memiliki pendapat yang sama dengan menyatakan bahwa golput dalam pandangan Islam adalah haram. Metode yang dilakukan M. Dzulifan untuk menyatakan bahwa golput dinilai haram yaitu melalui metode Fiqh Muwazanat ( Fiqh Pertimbangan ), suatu metode yang dapat menimbang dua perkara yang kita tidak dapat menghindarinya dan harus memilih salah satu dari keduanya. Salah satu peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan adalah memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain. Jika suatu perkara dinilai mengandung kemudharatan yang lebih banyak dibandingkan sisi maslahatnya, maka perkara tersebut harus dicegah. Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan Al-Quran mengenai hukum khamr dan judi terhadap orang-orang yang menanyakan tentang hal itu yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 219 :
          ••                   
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” ( QS. Al-Baqarah [ 2 ] : 219 )
Sementara itu, jika perkara tersebut mengandung kemaslahatan yang lebih banyak dibandingkan dengan sisi mudharatnya, maka perkara tersebut boleh dilakukan, sedangkan sisi mudharatnya boleh diabaikan.
Di antara kaidah penting dalam hal ini adalah :
1. Menolak kerusakan harus didahulukan untuk mengambil manfaat.
2. Kerusakan yang lebih kecil boleh diabaikan demi memperoleh kemaslahatan yang lebih besar.
3. Kerusakan yang bersifat sementara boleh diabaikan demi memperolh kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan.
4. Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan hanya karena adanya kerusakan yang baru diduga adanya.

Melalui metode tersebut, golput dinilai tidak tepat untuk dilakukan di zaman ini, karena pilihannya bukanlah terletak pada Fir’aun atau Nambrudz yang sama-sama besar mudharatnya dan tidak memiliki kemaslahatan sedikit pun. Akan tetapi, pilihannya adalah sesama orang-orang yang masih berafiliasi dalam Islam, seperti SBY, Megawati, Amien Rais, Wiranto, dan lainnya meskipun di antaranya masih memiliki kekurangan.
Semementara itu, dikalangan para praktisi politik dan ulama sendiri pun masih terdapat perdebatan mengenai wacana mengharamkan golput, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Alasan yang dikemukakan kalangan yang setuju bahwa golput adalah haram ialah Surat An-Nisa’ ayat 219 :
                              

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 59 )
Berdasarkan ayat di atas, kalangan ini berpendapat bahwa mereka yang golput berarti tidak taat terhadap pemimpin. Selain itu, memberikan ruang bagi adanya golput berarti membiarkan negeri ini dalam situasi yang serba sulit. Golput bukanlah solusi yang tepat dalam membangun dan memperjuangkan cita-cita bangsa ini. Apalagi di tengah krisis multidimensional yang tak kunjung reda, golput jelas bukanlah pilihan sikap yang rasional.
Sementara itu, alasan yang dikemukakan oleh kalangan praktisi politik serta ulama yang tidak setuju dengan rencana pengharaman golput adalah bahwa golput merupakan hak konstitusional warga negara dan juga bagian dari demokrasi yang harus dijunjung tinggi, sehingga tidak boleh ditekan atau dipaksa. Alasan lainnya yang juga didasarkan untuk menolak fatwa haram golput adalah bahwa golput dianjurkan jika dilakukan dengan tujuan untuk memprotes sitem politik yang korup dengan kata lain Islam tidak melarang umatnya untuk tidak memilih dalam masalah politik.


KESIMPULAN


Permasalahan golput di Indonesia memang merupakan permasalahan serius yang harus segera diatasi. Apalagi, dalam waktu dekat ini, Pemilu 2009 akan berlangsung. Tentunya, seluruh elemen masyarakat tidak menginginkan kesuksesan Pemilu 2009 menuai kegagalan yang diakibatkan oleh maraknya tindakan golput.
Memang tidak dapat dikatakan jika golput merupakan tindakan yang meresahkan dan salah jika dilakukan oleh masyarakat. Sebab, tidak ada dasar yang jelas serta peraturan pemerintah yang menjelaskan hal itu. Namun, jika tindakan golput dilakukan oleh sebagian masyarakat, maka mereka yang melakukan tindakan seperti itu sesungguhnya telah menyia-nyiakan hak yang mereka miliki serta secara tidak langsung telah menghambur-hamburkan ( memubazirkan ) dana yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan pemilu nanti.
Perbedaan pendapat dikalangan para ulama maupun praktisi politik Indonesia mengenai wacana pengharaman golput oleh MUI ini bersifat relatif, sehingga tidaklah bersifat mengikat dan wajib untuk diikuti. Akan tetapi, jadikanlah berbagai alasan yang dikemukakan dari perbedaan pendapat mengenai hal ini sebagai bekal untuk menyukseskan pemilu 2009 nanti agar dapat melahirkan seorang pemimpin yang dapat mengarahkan negara ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.


DAFTAR PUSTAKA


A.Yusrianto Elga, “Proyek Politik Dibalik Fatwa Haram Golput”, Artikel, http://jejakpengelana.blogspot.com/2009/01/proyek-politik-di-balik-fatwa-haram.html

Benni Setiawan, “Fatwa Haram Bagi Golput”, Artikel, dari situs http://bennisetiawan.blogspot.com/2009/01/fatwa-haram-bagi-golput.html

Leo Kusuma, “Tentang Golput 1”, Artikel, dari situs http://leo4kusuma.blogspot.com/2008/12/tentang-golput-1-pengertian-secara-umum.html

Muhammad Zulifan, “Golput Dalam Pandangan Islam”, Artikel, http://muhammadzulifan.multiply.com/journal/item/43

PBNU, “Fatwa Golput Haram Tak Relevan”, Artikel, http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=pbnu-fatwa-golput-haram-tak-relevan&id=1229519937

Tyo, “Golput : Haram atau Koreksi”, Artikel, http://fokus.dagdigdug.com/2008/12/15/golput-haram-atau-koreksi/

Zacky as-Samarani, “Golput Haram ( ? )”, Artikel, dari situs http://abahzacky.wordpress.com/2008/07/24/golput-haram/

mw tw lebih jauh.....

Link Partner

yuyu